November 21, 2025
PENDIDIKAN

Membangun Harapan di Lahan Kering: Solusi Inovatif Menuju Ketahanan Pangan dan Lingkungan

LITERASIPOST.COM – DENPASAR | Indonesia, dengan bentang alamnya yang luas, diberkahi dengan tanah yang subur. Namun, di balik gambaran ideal itu, jutaan hektar lahan kering tersebar di berbagai wilayah, seringkali terpinggirkan dan dianggap kurang produktif. Dari Nusa Tenggara Timur yang gersang hingga sebagian besar wilayah Kalimantan dan Sulawesi yang mengalami kekeringan musiman, lahan kering menjadi tantangan sekaligus potensi yang belum sepenuhnya tergarap. Bayangkan, jutaan masyarakat menggantungkan hidupnya pada lahan-lahan ini, menghadapi ancaman krisis air, degradasi tanah, hingga kemiskinan. Di sinilah peran vital pengelolaan lahan kering menjadi semakin mendesak, bukan hanya sebagai solusi teknis, melainkan juga sebagai upaya kolektif untuk membangun harapan. Dan siapa sangka, di tengah kompleksitas ini, para mahasiswa bisa menjadi garda terdepan inovasi dan diseminasi pengetahuan.

Secara ekologis, lahan kering adalah wilayah yang tidak memiliki sistem irigasi teknis permanen dan sangat bergantung pada curah hujan sebagai sumber utama air. Lahan ini ditandai dengan musim kemarau panjang, rendahnya ketersediaan air, serta tingkat erosi dan degradasi tanah yang tinggi. Curah hujan di lahan kering berkisar antara 300 hingga 1000 mm per tahun. Lahan kering terbagi dalam dua kategori utama: lahan kering basah dan lahan kering kering. Lahan kering basah, seperti di sebagian wilayah Sulawesi Tengah atau Kalimantan Timur, memiliki musim hujan yang cukup panjang namun tanpa sistem irigasi. Sementara itu, lahan kering kering seperti di Pulau Timor atau Sumba menghadapi kekurangan air ekstrem yang membuat produktivitas lahan sangat rendah.

BACA JUGA :  OJK dan FSS Korea Jalin Kerja Sama

Lahan kering secara umum diartikan sebagai area dengan curah hujan rendah atau tidak teratur, sehingga ketersediaan air menjadi faktor pembatas utama bagi pertumbuhan tanaman. Kondisi ini diperparah oleh iklim yang ekstrem, topografi yang bergelombang, serta struktur tanah yang sering kali miskin bahan organik dan rentan terhadap erosi. Akibatnya, produktivitas pertanian di lahan kering jauh berada di bawah potensi optimal, memicu siklus kemiskinan dan kerawanan pangan bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.

Dengan populasi Indonesia yang terus meningkat dan ancaman krisis iklim yang kian nyata, ketahanan pangan nasional berada dalam tekanan besar. Di sisi lain, alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi kawasan industri atau perumahan terus berlangsung. Dalam kondisi seperti ini, lahan kering justru menjadi harapan baru yang perlu dikelola secara bijak. Tidak hanya sebagai lahan produksi pangan alternatif, kawasan ini juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekologis, mengurangi tekanan pada lahan basah, serta mencegah deforestasi akibat ekspansi pertanian ke kawasan hutan.

Oleh karena itu, pengelolaan lahan kering membutuhkan pendekatan yang holistik dan adaptif. Strategi seperti pemanfaatan teknologi konservasi air, penggunaan varietas tanaman tahan kekeringan, penerapan sistem agroforestri, serta revitalisasi kearifan lokal seperti Subak Abian di Bali menjadi sangat penting. Melalui kolaborasi antara petani, akademisi, dan pembuat kebijakan, lahan kering dapat diubah menjadi sumber harapan baru bagi masa depan pertanian berkelanjutan di Indonesia.

Menganggap lahan kering hanya sebagai masalah adalah pandangan yang keliru sekaligus merugikan. Lahan-lahan ini sejatinya menyimpan potensi besar yang selama ini belum sepenuhnya dimanfaatkan. Ketika dikelola dengan pendekatan yang tepat dan berlandaskan prinsip keberlanjutan, kawasan lahan kering justru dapat menjadi penopang ketahanan pangan, sumber energi terbarukan, bahkan destinasi pariwisata berbasis alam dan budaya. Dalam sektor pertanian, misalnya, tanaman seperti jagung, sorgum, kacang tanah, kacang hijau, ubi jalar, dan singkong terbukti mampu tumbuh baik di lingkungan dengan curah hujan rendah. Selain itu, tanaman bioenergi seperti jarak pagar, kemiri sunan, dan nyamplung memiliki daya adaptasi tinggi serta nilai ekonomi yang menjanjikan, khususnya untuk pengembangan biodiesel di masa depan.

BACA JUGA :  FIB UNUD Adakan Pelantikan Pengurus Organisasi Kemahasiswaan 2023-2024

Tidak hanya terbatas pada sektor tanaman pangan, potensi lahan kering juga meluas ke sektor peternakan yang memiliki peluang besar untuk dikembangkan. Hewan ternak seperti kambing, domba, dan sapi potong terbukti mampu bertahan dan berkembang dengan memanfaatkan pakan lokal, seperti leguminosa dan hijauan yang toleran terhadap kekeringan. Bahkan, integrasi antara tanaman dan ternak (crop-livestock integration) menjadi solusi produktif yang tidak hanya meningkatkan efisiensi sistem pertanian, tetapi juga memungkinkan pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan dan bahan pupuk organik.

Namun, kunci keberhasilan pemanfaatan lahan kering terletak pada bagaimana kita mengelola sumber daya yang terbatas ini secara cerdas, efisien, dan berkelanjutan. Diperlukan sinergi antara inovasi teknologi, penguatan kelembagaan petani, dukungan kebijakan yang berpihak, serta peran aktif generasi muda dalam merancang dan mengembangkan model usaha tani yang adaptif terhadap perubahan iklim. Dengan pendekatan multidimensi ekologis, sosial, dan teknologis, lahan kering bukan lagi simbol keterbatasan, melainkan peluang strategis untuk membangun pertanian masa depan yang tangguh dan inklusif.

Salah satu strategi mendasar dalam pengelolaan lahan kering adalah panen air hujan. Air yang turun saat musim penghujan tidak dibiarkan mengalir dan terbuang, melainkan ditampung dalam embung, sumur resapan, cekungan, atau tangki air di atap rumah. Dengan cara ini, petani tetap dapat melakukan budidaya saat musim kemarau tiba.

Selain itu, sistem agroforestri juga terbukti sangat efektif. Sistem ini menggabungkan tanaman pertanian dengan pepohonan berkayu keras dalam satu lahan, sehingga mampu memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kelembapan mikro, dan menurunkan risiko erosi. Tanaman seperti sengon, lamtoro, atau gamal berfungsi sebagai pelindung sekaligus sumber biomassa organik. Di Sumba Timur, misalnya, agroforestri yang mengombinasikan jagung, kelor, dan pohon jati telah menjadi solusi adaptif yang menyeimbangkan aspek ekonomi, ekologis, dan sosial masyarakat sekitar.

BACA JUGA :  PLN Imbau Hindari Pasang Atribut Kemerdekaan Dekat Jaringan Listrik

Namun demikian, potensi tersebut tidak dapat tergarap maksimal tanpa menghadapi sejumlah tantangan krusial. Keterbatasan air, kondisi tanah yang miskin unsur hara, dan ketergantungan pada teknologi pertanian tradisional menjadi hambatan utama. Minimnya curah hujan dan ketiadaan sistem irigasi permanen membuat praktik pertanian di lahan kering sangat bergantung pada musim, sehingga produktivitasnya rendah dan tidak stabil. Struktur tanah yang rentan erosi serta kandungan bahan organik yang minim memperparah degradasi lahan. Di banyak wilayah, petani pun belum memiliki akses memadai terhadap teknologi adaptif maupun pengetahuan konservasi lahan. Sementara itu, program-program pemerintah kerap kali belum terintegrasi dengan kondisi ekologi setempat atau tidak melibatkan kearifan lokal seperti yang dimiliki oleh masyarakat adat.

Teknologi irigasi hemat air seperti irigasi tetes dan irigasi bawah permukaan sangat efektif dalam meningkatkan efisiensi penggunaan air. Selain menghemat air hingga 50%, teknologi ini juga mengurangi pertumbuhan gulma dan meningkatkan hasil panen. Walaupun biaya awalnya cukup tinggi, irigasi tetes kini mulai dikembangkan secara lokal oleh UMKM pertanian di Bali dan Lombok dengan bahan sederhana seperti pipa paralon dan botol plastik bekas.

Penggunaan pupuk organik seperti bokashi, pupuk hijau, atau kompos sangat penting dalam meningkatkan kesuburan tanah lahan kering. Bahan organik mampu menyimpan air lebih lama dan menyediakan unsur hara secara bertahap. Beberapa komunitas tani di Flores dan Lembata telah mengembangkan bank kompos mandiri berbasis limbah rumah tangga, sehingga mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia.

Selain itu, pemilihan jenis tanaman yang sesuai juga sangat penting. Tanaman seperti sorgum, jewawut, ubi jalar, singkong, dan kacang hijau memiliki toleransi tinggi terhadap kekeringan dan cocok dibudidayakan di wilayah lahan kering. Komoditas ini tidak hanya tahan iklim, tetapi juga bernilai ekonomi tinggi jika diolah menjadi produk siap konsumsi seperti tepung bebas gluten atau camilan sehat. Ini membuka peluang besar untuk industri olahan lokal.

BACA JUGA :  Pererat Kekeluargaan dan Solidaritas, Himatepa FTP UNUD Gelar Expo dan Makrab

Keberhasilan pengelolaan lahan kering juga sangat ditentukan oleh kuatnya kelembagaan lokal. Kelompok tani, koperasi, atau kelompok wanita tani perlu diperkuat dengan pelatihan, pendampingan, dan akses pasar yang adil. Program Pemberdayaan Petani Berbasis Kawasan (P2BK) yang dilakukan di Kabupaten Bima, NTB, misalnya, mampu meningkatkan pendapatan petani hingga 40% melalui integrasi hasil tani dan peternakan.

Lebih dari itu, penting juga untuk melibatkan perempuan dalam pengelolaan lahan kering. Di banyak wilayah, perempuan memegang peran sentral dalam pengelolaan rumah tangga dan pertanian subsisten. Pemberdayaan mereka dalam bentuk pelatihan pengolahan hasil tani, kewirausahaan lokal, dan akses kredit usaha dapat meningkatkan ketahanan ekonomi keluarga dan komunitas. Kisah sukses dari komunitas wanita tani di Sumba Barat Daya menunjukkan bahwa pelatihan membuat pupuk organik dan pengolahan hasil panen mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga hingga dua kali lipat.

Pengelolaan lahan kering tidak hanya menjadi urusan pemerintah atau petani. Mahasiswa dan generasi muda memiliki peran strategis dalam mengembangkan inovasi, riset, dan edukasi masyarakat. Melalui program KKN Tematik, magang pertanian, atau penelitian skripsi, mahasiswa bisa turut mendorong perubahan nyata di desa-desa rawan kekeringan. Bahkan, pengembangan aplikasi digital untuk pemantauan cuaca, distribusi air, dan pasar hasil tani bisa menjadi solusi berbasis teknologi yang dibutuhkan petani di lahan kering.

Dalam konteks perubahan iklim global, pengelolaan lahan kering bukan hanya soal peningkatan produksi, tetapi juga ketahanan adaptif. Model-model pertanian yang tahan kekeringan (climate-resilient farming) kini menjadi agenda penting dalam pembangunan berkelanjutan. PBB melalui FAO mendorong pendekatan Climate-Smart Agriculture (CSA), yang menekankan pentingnya ketahanan, produktivitas, dan mitigasi emisi karbon. Indonesia pun telah merintis program serupa melalui Kawasan Rumah Pangan Lestari dan Pertanian Lahan Kering Berbasis Ekoregion.

BACA JUGA :  Raih Gelar Magister, Sri Agustini Kombinasikan Jamur Merang dan Daging Ayam Broiler pada Lawar Mampu Turunkan Kolesterol

Kebijakan publik juga harus diarahkan untuk memperkuat pengelolaan lahan kering. Diperlukan sinergi lintas sektor antara Kementerian Pertanian, Lingkungan Hidup, Bappenas, dan pemerintah daerah. Perluasan program padat karya konservasi, insentif untuk teknologi ramah lingkungan, dan pembentukan pasar hasil tani yang adil menjadi langkah strategis. Pemerintah juga bisa mendorong perbankan dan lembaga keuangan untuk menyediakan skema kredit lunak khusus petani di lahan kering.

Lahan kering mungkin tak sepopuler sawah subur di dataran rendah. Ia seringkali luput dari perhatian, terlupakan dalam perencanaan pembangunan, dan dianggap tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Namun sesungguhnya, di balik keterbatasan tersebut tersembunyi potensi yang luar biasa. Lahan kering menyimpan peluang besar untuk membangun kemandirian pangan, membuka lapangan kerja baru, mengurangi kemiskinan, dan menjadi benteng pertahanan ekologis dari krisis lingkungan global.

Ketika lahan kering dikelola dengan pendekatan ilmiah, partisipatif, dan berkelanjutan, ia bisa menjelma menjadi pusat inovasi pertanian masa depan—tempat lahirnya teknologi irigasi cerdas, sistem tanam adaptif, hingga produk lokal yang bernilai ekspor. Bahkan, keunikan lanskapnya dapat dimanfaatkan untuk wisata edukasi, konservasi keanekaragaman hayati, serta pendidikan lingkungan berbasis komunitas.

Dengan sinergi antara petani sebagai pelaku utama, pemerintah sebagai fasilitator kebijakan, akademisi sebagai pengembang pengetahuan, dan generasi muda sebagai motor penggerak inovasi, lahan kering tidak lagi menjadi wilayah yang ditinggalkan. Sebaliknya, ia dapat menjadi ladang harapan yang menyuburkan masa depan Indonesia. Karena sejatinya, ketahanan sebuah bangsa tidak semata-mata diukur dari seberapa subur tanahnya, tetapi dari seberapa bijak dan inklusif kita mengelola seluruh sumber daya—termasuk lahan yang kering sekalipun—demi kesejahteraan bersama dan kelestarian bumi.

(Artikel ini ditulis oleh Ni Nyoman Ayu Callista Dewi – Mahasiswa Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa)

Related Posts