Konferensi ASEAN di Bali Bahas Pencegahan dan Respon Penyalahgunaan Penyedia Jasa Keuangan dalam Eksploitasi Seksual Anak
LITERASIPOST.COM – DENPASAR | Kasus penyalahgunaan jasa keuangan dalam kasus eksploitasi seksual anak (ESA) cukup marak terjadi belakangan ini, terutama dalam perkembangan jasa keuangan digital. Menurut Laporan Financial Intelligence Alliance, ESA dimungkinkan karena adanya transaksi finansial antara pelaku dan korban, antara pelaku dan fasilitator/mucikari atau antara pelaku dan pemasok (pembelian konten-konten materi kekerasan/eksploitasi seksual anak).
Transaksi tersebut terjadi karena adanya kemudahan dalam pemanfaatan teknologi finansial yang saat ini banyak dikembangkan oleh jasa penyedia keuangan di ranah global. Untuk itu diperlukan kecerdasan finansial dalam mendeteksi dan menghentikan eksploitasi seksual terhadap anak pada sektor keuangan.
Kejahatan ESA, termasuk perdagangan anak untuk tujuan seksual, diketahui menghasilkan keuntungan yang cukup besar. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya transaksi keuangan sebesar Rp127 miliar lebih dari kejahatan ESA.
“Angka tersebut dari hasil analisis laporan keuangan mencurigakan terkait kejahatan eksploitasi seksual pada anak (ESA) sejak tahun 2014 hingga 2024,” ujar Natsir Kongah, Ketua Kelompok Hubungan Masyarakat PPATK saat Konferensi ASEAN tentang Pencegahan dan Respon terhadap Penyalahgunaan Penyedia Jasa Keuangan dalam Eksploitasi Seksual Anak yang berlangsung di Denpasar, Rabu (7/8/2024).
Ditambahkannya, banyak pelaku pornografi anak menggunakan dompet digital/e-wallet untuk pembayaran konten. Para pelaku dari eksploitasi seksual anak ini bukan hanya berasal dari wilayah Indonesia, namun juga luar negeri. Mereka mencari konten-konten eksploitasi seksual anak di Indonesia dan melakukan pembayaran lewat bank-bank dan penyedia jasa keuangan lainnya yang bisa digunakan untuk mengirimkan uang tersebut.
Konferensi ini diselenggarakan oleh ECPAT Indonesia berkolaborasi dengan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUPIKI) didukung oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) serta ASEAN Secretariat yang berlangsung di Denpasar, Bali, pada 7-8 Agustus 2024.
Sejumlah pembicara hadir menyampaikan paparannya, di antaranya Tom Blissende dari AUSTRAC (Australian Transaction Reports and Analysis Centre) di Australia, Diana Soraya NOOR dari PPATK di Indonesia, Tori Hill dari Western Union, Mattias Bryneson dari ECPAT International, R. Rinto Teguh Santoso dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan), John Carr dari UK’s Children’s Charities’ Coalition on Internet Safety (CHIS), Smita Mitra dari Crimes Against Children Unit Interpol, Lance P. Lueck dari OUR Rescue Indonesia, Yanti Kusumawardhani dari ACWC dan Zoelda Anderton dari UNODC.
Untuk mengidentifikasi dan menghentikan ESA di negara-negara ASEAN diperlukan pendekatan bersama dengan pemerintah, industri (penyedia jasa keuangan), dan masyarakat luas. Perlu adanya rencana aksi regional untuk perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi seksual di ASEAN. Hal tersebut memerlukan beberapa langkah yang harus segera dilaksanakan oleh negara anggota ASEAN seperti menyusun instrumen hukum bagi perusahaan sektor swasta untuk melaporkan dan menghapus materi kekerasan seksual anak dari platform dan layanan mereka, dan untuk penyedia jasa keuangan diwajibkan melaporkan transaksi mencurigakan yang mungkin terkait dengan materi kekerasan seksual anak, serta membangun kemitraan yang solid antara pemerintah, penegak hukum dan lembaga-lembaga sektor swasta untuk berbagi informasi terkait dengan materi kekerasan seksual anak yang terjadi di wilayah ASEAN. (IGP)