“Ending AIDS 2030” Hadapi Tantangan, Masyarakat Diminta Tidak Diskriminasikan Penderita HIV/AIDS

LITERASIPOST.COM – DENPASAR | Upaya penanggulangan HIV di Indonesia termasuk di Bali, sampai saat ini masih menghadapi tantangan. Dua tantangan terbesar, yaitu adanya diskriminasi serta ada rasa takut atau malu untuk menjangkau layanan kesehatan. Kondisi ini tentu menjadi ganjalan yang harus dicarikan jalan keluar guna mencapai target “Ending AIDS 2030”.
Hal tersebut mengemuka pada diskusi “Mencapai Ending AIDS 2030: Tantangan Pencegahan dan Penanganan HIV Pada Kelompok Beresiko Tinggi” bertempat di Kubu Kopi, Denpasar, Kamis (20/2/2025). Acara yang didukung oleh Elthon John Foundation melalui Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) bersama Women Harm Reduction Internasional Network ini, melibatkan jurnalis (media) cetak dan elektronik termasuk yang tergabung dalam Komunitas Jurnalis Peduli AIDS (KJPA) Provinsi Bali serta perwakilan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali dan Kota Denpasar.
“Sebenarnya ada banyak tantangan dalam penanggulangan HIV khususnya di Bali, dua yang utama seperti disebutkan di atas, namun setidaknya sudah ada progress, hanya saja di beberapa area masih ada tantangannya”, ungkap Ketua Yakeba, Adi Mantara.
“Yakeba telah melakukan berbagai upaya dengan melibatkan masyarakat sipil, Dinas Kesehatan, Puskesmas, untuk mengupayakan akses kesehatan deteksi dini supaya Ending AIDS 2030 dapat tercapai”, sambungnya.
Dijelaskan, Ending AIDS 2030 dikatakan tercapai, jika: 1) Menekan temuan kasus baru, 2) Menekan angka kematian akibat AIDS, dan 3) Menekan diskriminasi. Upaya tersebut diukur dengan beberapa indikator, salah satunya “Triple 95”. Artinya: 1) 95% dari estimasi dapat dideteksi, 2) 95% yang terdeteksi mendapat pengobatan dan perawatan, dan 3) 95% yang mendapat pengobatan serta perawatan jumlah virusnya tersupresi. Sayangnya Indonesia per September 2023 lalu baru mencapai 88% untuk 95 yang pertama, 40% untuk 95 yang kedua dan sangat rendah pada 95 yang ketiga. Sehingga masih banyak hal yang perlu dikembangkan dalam penanggulangan HIV di Indonesia.
“Indikator tersebut lebih mengedepankan aspek kesehatan, padahal isu terbesar dalam penanggulangan HIV adalah pada area stigma dan diskriminasi. Kegiatan dalam menekan diskriminasi ini tidak ada bentuk dalam mengukur pencapaiannya”, tegas Adi Mantara.
Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk menyebarluaskan bahwa penanganan HIV perlu melibatkan seluruh komponen di luar aspek kesehatan. Karena semua pendekatan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Maka upaya dalam melibatkan media menjadi aspek penting sebagai wadah yang dapat mengedukasi ke masyarakat luas untuk bersama-sama menekan diskriminasi bagi orang yang hidup dengan HIV dan juga kelompok resiko tinggi. Sehingga mereka bisa merasa aman dan nyaman dalam mengakses kesehatan dan terlibat dalam penanggulangan HIV.
Kegiatan diskusi ini juga dihadiri oleh Yuni Ambara dari KPA Provinsi Bali, Adi Suryadi Putra dari KPA Kota Denpasar dan Melati dari komunitas. (LP)