Gerakan Bali Bebas Sampah: antara Regulasi dan Perilaku

LITERASIPOST.COM – DENPASAR | Bali bebas sampah. Kalimat ini belakangan sering terdengar. Benar, Pemerintah Provinsi Bali telah mengeluarkan regulasi tentang hal ini. Cukup beralasan, Bali sebagai daerah pariwisata tak hanya berhadapan dengan kedatangan wisatawan, tapi juga berhadapan dengan permasalahan sampah yang tak kunjung terselesaikan sampai saat ini.
Beragam regulasi dikeluarkan pemerintah, namun belum juga optimal menyelesaikan persoalan tersebut. Lalu, di mana akar masalahnya? Beberapa praktisi mengatakan karena kurang masifnya sosialisasi sebelum regulasi itu dikeluarkan atau diterapkan. Praktisi lainnya justru menyoroti pada perilaku individu yang masih rendah tentang pengelolaan sampah. Hal tersebut mengemuka dalam diskusi/workshop sekaligus lomba jurnalistik tentang Gerakan Bali Bebas Sampah yang berlangsung di Duta Orchid Garden, Denpasar, Sabtu (26/7). Kegiatan ini diadakan serangkaian ulang tahun ke-7 media online kanalbali.id yang didukung oleh Yayasan Bintang Gana – sebuah Yayasan yang bergerak di bidang lingkungan, dan diikuti oleh puluhan jurnalis di Bali.

Diskusi sesi I, dari kiri: Ni Wayan Riawati (Yayasan Bali Wastu, pegiat Bank Sampah), Dr. Ir. Ni Made Armadi, SP, M.Si (Kepala UPTD Pengelolaan Sampah DKLH Provinsi Bali), Nyoman Mardika (moderator), dan Dr. Drs. Nyoman Subanda, M.Si (Akademisi Undiknas University). (Foto: Literasipost)
Pada diskusi sesi pertama, Kepala UPTD Pengelolaan Sampah DKLH Provinsi Bali Dr. Ir. Ni Made Armadi, SP, M.Si mengakui bahwa sampah di Bali sudah menjadi permasalahan serius. Masing-masing daerah di Bali menghasilkan ratusan ton sampah per hari, dengan dominasi jenis sampah organik sebesar 60% dan sisanya sampah plastik. Volume sampah terbanyak dihasilkan oleh Kota Denpasar yaitu 1.005 ton per hari.
“Kita sadari kenapa Kota Denpasar menghasilkan sampah terbanyak, karena merupakan ibukota, pusat pemerintahan, pusat bisnis, pendidikan, banyak yang datang ke sini (Denpasar-red) untuk kerja dan sebagainya lalu mereka kembali pulang sehingga sampahnya menumpuk di sini”, ujar Armadi.
Kondisi tersebut kian diperparah oleh overload-nya tempat pembuangan akhir (TPA) yang ada, salah satunya TPA Suwung. Untuk itu, Pemerintah Provinsi Bali membuat Program Super Prioritas Mendesak (PSPM) guna menuntaskan permasalahan sampah. Pertama, mempercepat pelaksanaan pembatasan timbulan sampah plastik sekali pakai (tas kresek, pipet, styrofoam, produk dan minuman kemasan plastik) dengan dasar hukum Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Kedua, mempercepat pelaksanaan pengelolaan sampah berbasis sumber di Desa dan Desa Adat dengan regulasi Peraturan Gubernur Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber.
“Program pertama diperkuat dengan slogan Desaku Lestari Tanpa Sampah Plastik, sedangkan program kedua dengan slogan Desaku Bersih Tanpa Mengotori Desa Lain”, jelasnya.
Kemudian, digaungkan Gerakan Bali Bersih Sampah melalui Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 09 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah yang ditandatangani pada 2 April 2025. Dikatakan, Bali sudah lebih awal membuat gerakan ini dibandingkan secara nasional yang baru mulai diwacanakan oleh pemerintah pusat. Salah satu implementasi dari upaya ini diberi nama Teba Modern, yakni kearifan lokal pengelolaan sampah organik di Bali.
Sementara itu dari Yayasan Bali Wastu yang sekaligus pegiat Bank Sampah, Ni Wayan Riawati menyampaikan bahwa pihaknya mengidentifikasi penyebab masalah Bali darurat sampah, yaitu rendahnya tingkat kesadaran masyarakat, dan belum memiliki konsep waste manajemen terintegrasi dari hulu ke hilir. Dikatakan, komitmen Pemerintah tidak perlu diragukan, terbukti dari regulasi tentang pelaksanaan tata kelola sampah cukup lengkap. Namun, implementasinya belum konsisten dan kontinyu.
Sejak tahun 2010, Yayasan Bali Wastu Lestari (YBWL) telah memberi layanan sosialisasi, edukasi, pendampingan pemberdayaan dalam pengelolaan sampah di Bali, dengan jaringan komunitas bank sampah yang tersebar di 9 kota/kabupaten di Bali melalui konsep sosial gotong royong. Lalu, pada 2025 YBWL bekerja sama dengan Bank Sampah Induk membangun transpormasi Gerakan Sosial Bank Sampah menjadi sosial enterprise melalui PT Bali Recycle Center (BRC). BRC hadir memperkuat manajemen pengelolaan sampah secara konsisten dan kontinyu.
“Jadi, sumber masalahnya bukanlah pada sampah itu sendiri, tapi pada cara kita menangani sampah”, tegasnya.
Akademisi dari Undiknas University, Dr. Drs. Nyoman Subanda, M.Si menyoroti Pengelolaan SampahDalam Perspektif Kebijakan Publik. Dalam hal ini, ketaatan birokrasi harus linier dari tingkat provinsi hingga desa/kelurahan, bahkan tingkat banjar/lingkungan. Ia mengatakan Indonesia termasuk negara terburuk kedua di dunia dalam pengelolaan sampah. Hal itu terjadi karena minimnya infrastruktur pengolah sampah, kesadaran masyarakat rendah, penyumbang sampah plastik ke laut nomor 2 di dunia, dan kemampuan daur ulang hanya 20% dari volume sampah yang ada. Lalu, apakah Bali bisa melakukan pengelolaan sampah dengan baik?
“Saya katakan, bisa! Asalkan, konsisten, ketaatan birokrasi lurus dari atas ke bawah, anggaran diperkuat, dan tingkatkan kesadaran masyarakat”, ujar Subanda penuh semangat.

Diskusi sesi II, dari kiri: Perry Markus (Sekretaris PHRI Bali), Feri Kristianto (moderator), dan Budiman (Ketua DPD Aprindo Bali). (Foto: Literasipost)
Selanjutnya dalam diskusi sesi kedua, Sekretaris PHRI Bali Perry Markus menyampaikan bahwa ada sekitar 20 juta manusia di Bali yang terdiri dari penduduk dan wisatawan. Dari jumlah tersebut bisa dibayangkan banyaknya sampah yang dihasilkan. Dari sektor pariwisata, regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah menjadi pedoman bagi pelaku pariwisata untuk dilaksanakan. Utamanya, Pergub Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber serta SE Nomor 09 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah.
Kemudian, apa peran hotel dan restoran? Menurut Markus, peran hotel & restoran dalam upaya bersih sampah di Bali, di antaranya mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, mengelola sampah berbasis sumber, mengedukasi karyawan dan tamu, menggunakan bahan yang ramah lingkungan dalam operasionalnya, mengikuti aturan dan larangan yang ditetapkan dalam peraturan tentang pengelolaan sampah di Bali, mengembangkan program pengelolaan sampah, serta berkolaborasi dan bekerjasama dengan pemerintah, masyarakat dan stakeholder lainnya.
“Dengan melakukan peran-peran tersebut dapat mengurangi dampak terhadap lingkungan dan meningkatkan citra pariwisata Bali sebagai destinasi yang bersih dan ramah lingkungan”, sebut Markus.
Ketua DPD Aprindo Bali, Budiman menyatakan para pelaku usaha berusaha untuk mematuhi segala regulasi yang dikeluarkan pemerintah di Bali. Namun, perlu dimaklumi tidak semua bisa dilaksanakan dengan maksimal. Bagi usaha yang capital expend-nya besar dan memiliki banyak cabang, cenderung tidak ada masalah untuk menjalankan regulasi tersebut dengan dukungan pendanaan yang dimiliki. Akan berbeda kondisinya pada usaha retail lokal yang sejatinya “berdarah-darah”.
“Jadi pada intinya kami pelaku usaha patuh terhadap regulasi pemerintah terkait pengelolaan sampah. Kami justru takut dengan sanksi media sosial, apalagi kalau diviralkan misalnya ada anggota kami yang tidak patuh pada regulasi, hal itu bisa menurunkan jumlah customer, omzet bahkan bisa menutup usaha”, kata Budiman.
Lanjutnya, sejauh ini regulasi yang bisa diterapkan seperti memilah sampah antara organik, anorganik dan residu, serta tidak memberikan kantong plastik belanja kepada customer. Kalau untuk tempat pengelolaan sampah sudah tentu belum bisa diwujudkan karena keterbatasan lahan usaha.
“Kami berharap ada kolaborasi atau diskusi antara pemerintah dan kami (pelaku usaha) dalam perumusan regulasi, jangan tiba-tiba kami dipanggil untuk mengikuti”, harapnya.
Sebagai rangkaian dari kegiatan workshop ini, peserta juga diajak melakukan Field Trip ke lokasi TPS3R Seminyak. Dari tempat ini dapat diketahui proses pengambilan sampah, pemilahan, kemudian pengolahan hingga bisa menghasilkan Rupiah. (L’Post)














