Sarasehan MPRB, Ungkap Peran Perempuan Bali Masa Dulu dan Kini
LiterasiPost.com, Denpasar –
Dinas Kebudayaan Provinsi Bali melalui UPTD Monumen Perjuangan Rakyat Bali (MPRB) menggelar Sarasehan Peranan Perempuan Dalam Perjuangan Rakyat Bali bertempat di ruang rapat UPTD MPRB, Denpasar, Rabu (30/6/2021). Kegiatan ini diikuti oleh puluhan wartawan baik itu media cetak, elektronik maupun online.
Kepala UPTD MPRB, I Made Artana Yasa menyampaikan sarasehan ini dilaksanakan serangkaian HUT ke-18 MPRB pada 14 Juni 2021. Dikatakan, monumen yang dibangun megah dengan arsitektur khas Bali ini menampilkan diorama perjuangan rakyat Bali dari masa ke masa. Spirit inilah yang ingin diungkap ke masyarakat, utamanya tentang perjuangan kaum perempuan Bali.
“Tentu kami berharap melalui pelaksanaan sarasehan ini bisa memberikan motivasi kepada perempuan Bali masa kini untuk berjuang dalam berbagai bidang,” ujar Artana Yasa didampingi Kasi Informasi Masyarakat, Dewi Ardhiyanti.
Kegiatan yang dipandu moderator Dr. IGA Diah Yuniti, M.Si ini salah satunya menghadirkan narasumber Dr. Drs. I Gusti Ngurah Seramasara, M.Si (Dosen ISI Denpasar). Dia memaparkan tentang perjuangan perempuan Bali pada masa penjajahan, di antaranya Jro Jempiring, Dewa Agung Istri Kanya dan Sagung Wah.
“Perjuangan dan peranan perempuan Bali pada masa itu (penjajahan) telah memberikan kekuatan simbolik. Tantangannya kini adalah munculnya sifat neo-kapitalisme seperti komumerisme dan gaya hidup yang mempengaruhi pola pikir. Maka diperlukan penyadaran dan peningkatan rasa nasionalisme serta cinta tanah air dan bangsa,” ungkapnya.
Narasumber lainnya adalah Dr. Ir. Luh Riniti Rahayu, M.Si (tokoh perempuan, dosen dan Ketua LSM Bali Sruti). Mantan Komisioner KPU Bali ini memaparkan tentang kiprah perempuan Bali masa dulu dan masa kini (era reformasi). Dikatakannya, dulu perempuan Bali mendapatkan image yang kurang baik dan seolah menderita atau tertindas.
“Dulu perempuan Bali ikut mengaspal jalan, menjunjung batu, ini memberi image bahwa perempuan Bali sangat menderita dan terdiskriminasi,” paparnya.
Namun di balik itu, kata Riniti, di masa sebelum kemerdekaan ternyata perempuan Bali sudah responsif feminisme. Terbukti, pada tahun 1936 terbentuk Putri Bali Sadar (PBS), sebuah organisasi perempuan yang memperjuangkan keadilan gender.
“Sehingga, image tadi salah. Seiring waktu kita melihat bagaimana tangguh dan mandirinya perempuan Bali di masa sekarang sehingga bisa berkiprah di berbagai bidang,” jelasnya.
Dia melanjutkan, ada 3 model peran perempuan dalam perjuangan rakyat Bali, yakni peran saat masa penjajahan, memajukan pendidikan serta dalam keorganisasian dan politik. (igp)