Pengabdian Kepada Masyarakat, Dosen Poltekkes Kemenkes Denpasar Beri Edukasi Tentang Kekerasan Seksual pada Anak
LITERASIPOST.COM, KARANGASEM | Dua Dosen Poltekkes Kemenkes Denpasar melaksanakan Pengabdian Kepada Masyarakat Program Kemitraan Masyarakat (PKM) pada 9-10 Oktober 2021 di Kabupaten Karangasem. Kedua dosen (pengabdi) tersebut adalah I Ketut Labir dan NLK Sulisnadewi dengan program “Edukasi Perlindungan Diri Terhadap Kekerasan Seksual Pada Anak di SD 1 dan SD 3 Manggis”.
Diangkatnya tema ini mengacu pada kasus kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia yang semakin sering terjadi. Tidak hanya pada orang dewasa, anak-anak pun kini menjadi korbannya. Bahkan, beberapa dari kasus korban ataupun pelaku melibatkan anak di bawah umur.
Berdasarkan literatur, kekerasan seksual pada anak merupakan tingkat kekerasan yang paling tinggi dibandingkan kekerasan fisik dan psikologis. Sekitar 15-25% wanita dan 5-15% pria mengalami pelecehan seksual saat mereka masih anak-anak di Amerika Utara. Sebagian besar pelaku pelecahan seksual adalah orang yang dikenal oleh korban; sekitar 30% adalah keluarga dari si anak, paling sering adalah saudara laki-laki, ayah, paman, atau sepupu; sekitar 60% adalah kenalan lainnya seperti ‘teman’ dari keluarga, pengasuh, atau tetangga, orang asing adalah pelanggar sekitar 10% dalam kasus penyalahgunaan seksual anak.
Kebanyakan pelecehan seksual anak dilakukan oleh laki-laki; studi menunjukkan bahwa perempuan melakukan 14-40% dari pelanggaran yang dilaporkan terhadap anak laki-laki dan 6% dari pelanggaran yang dilaporkan terhadap perempuan. Sebagian besar pelanggar yang pelecehan seksual terhadap anak-anak sebelum masa puber adalah pedofil, meskipun beberapa pelaku tidak memenuhi standar diagnosis klinis untuk pedofilia (Yudasmara., 2016).
Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2011 saja telah terjadi 2.275 kasus kekerasan terhadap anak, 887 kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual anak. Pada tahun 2012 kekerasan terhadap anak telah terjadi 3.871 kasus, dan 1.028 kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual terhadap anak. Tahun 2013, dari 2.637 kekerasan terhadap anak, 48 persennya atau sekitar 1.266 merupakan kekerasan seksual pada anak.(KPAI, 2016).
Berdasarkan data dan informasi Komnas Anak, sepanjang tahun 2016 terdapat 625 kasus. Rinciannya, kasus kekerasan fisik 273 kasus (40%), kekerasan psikis 43 kasus (9%), dan paling banyak berupa kasus kekerasan seksual 309 kasus (51%). Berdasarkan tempat kejadian kekerasan terhadap anak ada di lingkungan keluarga terdekat sebesar 40%, lingkungan sosial 52%, lingkungan sekolah 5% (Ferdianto, 2009).
Komisioner KPAI, Jasra Putra menunjukkan data bahwa pihaknya menemukan 218 kasus kekerasan seksual anak pada 2015. Sementara pada 2016, KPAI mencatat terdapat 120 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak. Kemudian di 2017, tercatat sebanyak 116 kasus (Setiawan, 2017).
Berdasarkan analisis situasi tersebut, masalah yang dapat diidentifiakasi adalah:
• Orang tua menganggap tabu apabila membicarakan masalah seksual pada anak.
• Anak-anak belum memahami bagaimana melindungi diri mereka sendiri dari bahaya kekerasan seksual di sekitar mereka.
• Angka kejadian kekerasan seksual setiap tahun semakin meningkat di kalangan anak-anak sekolah dasar khususnya pada anak perempuan.
• Bisa menyebabkan gangguan emosi atau perubahan perilaku dan gangguan perkembangan pada anak.
• Terjadi kehamilan di luar nikah, penyakit menular akibat seksual.
“Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan anak dalam melindungi diri dari kekerasan seksual sebelum pelaksanaan edukasi, serta mengidentifikasi pengetahuan anak dalam melindungi diri dari kekerasan seksual sesudah pelaksanaan edukasi,” kata Ketut Labir didampingi Sulisnadewi.
Hasil dari kegiatan ini adalah sebelum memberikan pendidikan, rata-rata nilai pengetahuan peserta tentang upaya untuk melindungi diri mereka dari kekerasan seksual adalah 19,6% dan meningkat menjadi 55,7% setelah dberikan pendidikan. Nilai ujian pre test lebih rendah dibandingkan post test yang kemungkinan disebabkan oleh kurangnya informasi yang diperoleh tentang cara melindungi diri dari kekerasan seksual.
“Mungkin juga karena mereka merasa tabu atau malu berbicara tentang anak-anak dan kaum muda yang tidak menerima persiapan yang memadai untuk kehidupan seksual dewasa yang aman dan memuaskan,” terangnya.
Dikatakan bahwa pengetahuan merupakan kemampuan pemahaman seseorang terhadap informasi yang diperoleh melalui proses belajar, pengalaman, pendidikan yang diperoleh menggunakan pengalaman dan akal sehat/logika.
“Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan pengetahuan adalah dengan cara mencari informasi di internet, membaca koran, menonton Youtube, membaca buku elektronik, menonton televisi dan sebagianya,” sebutnya.
Menurut hasil riset Wawan & Dewi (2019), pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana semakin tinggi pendidikannya maka semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. (igp/r)