Penutupan Pameran Foto Alat Bantu Adaptif: “Artist Talks II” Suarakan Harapan Penyandang Disabilitas

LITERASIPOST.COM – DENPASAR | Pameran Foto Alat Bantu Adaptif telah berakhir dan ditutup pada Minggu (9/2/2025) di Annika Linden Centre, Denpasar. Acara penutupan diisi Artist Talks II dengan topik “Adaptif: Artivisme dan Ragam Disabilitas”.
Pameran yang berlangsung sejak Minggu (2/2/2025) ini merupakan tindak lanjut dari Workshop Foto Bercerita yang telah dilaksanakan pada Desember 2024, bekerjasama dengan fotografer profesional Anggara Mahendra. Seluruh pesertanya adalah penyandang disabilitas di Bali, dengan topik “Alat Bantu Adaptif dan Aksesibilitasnya”. Kegiatan tersebut merupakan inisiatif dari Gugus Tugas Alat Bantu Adaptif Disabilitas Bali, UCP Roda Untuk Kemanusiaan (UCPRUK) Indonesia, PUSPADI Bali dan Annika Linden Centre (ALC) serta didukung oleh Inspirasia Foundation.
Artist Talks II yang dipandu oleh Vina Eska dari Bumi Setara, menghadirkan tiga pembicara yaitu Dinda Mahadewi (Artist & Peserta Workshop Foto Cerita, dan memiliki Invisible Disability), Dewa Kresnanta (Artist & Peserta Workshop Foto Cerita, Impermanent Disability) dan Cok Ima (Artist & Peserta Workshop Foto Cerita, Physical Disability).
Belum begitu banyak yang familiar dengan istilah “artivisme”. Artivisme adalah gabungan dari kata “art” yang berarti seni dan “aktivisme” yang berarti pergerakan atau mempromosikan. Jadi, artivisme adalah sebuah gerakan yang menggunakan seni sebagai alat perjuangan, perlawanan, dan perubahan sosial.
“Lewat seni, kita bisa menantang stigma, membangun kesadaran, dan mendorong inklusivitas”, ungkap Vina saat membuka sesi diskusi.
Lalu, apa itu ragam disabilitas? Lanjutnya, disabilitas bukan sekadar kondisi medis, tetapi juga pengalaman sosial yang dipengaruhi oleh lingkungan dan kebijakan. Ada berbagai bentuk disabilitas yakni sensorik, fisik, intelektual, hingga psikososial, dan setiap individu memiliki cara unik dalam berinteraksi dengan dunia.
“Melalui diskusi ini, kita akan melihat bagaimana seni bisa menjadi suara bagi mereka yang kerap tak terdengar, serta bagaimana artivisme mampu membongkar batasan-batasan yang sering menghalangi partisipasi penyandang disabilitas dalam masyarakat”, jelasnya.
“Melalui pameran yang telah diadakan, saya mendapat banyak ilmu, tidak hanya ilmu fotografi tapi juga bagaimana kita bisa menyuarakan, mengedukasi bahkan menginspirasi banyak orang terutama yang masih awam mengenai alat bantu adaptif. Kita juga belajar bahwa seni bisa kita jadikan media untuk menyuarakan aspirasi dan harapan kita terkait keberadaan alat bantu adaptif. Saya berharap acara seperti ini bisa dilaksanakan berkelanjutan ke depan”, kata Cok Ima.
“Saya pun berharap agar ke depan isu-isu tentang disabilitas semakin digaungkan, terlebih saya sendiri bekerja di bidang media sangat tahu bahwa isu-isu seperti ini kurang digaungkan terutama di media-media mainstream. Jadi, perlu lebih banyak pendokumentasian dan juga dari segi aksesibilitasnya. Begitu juga kepada pemerintah berkaitan dengan advokasinya”, harap Dewa Kresnanta.
“Dari foto-foto yang saya tampilkan di pameran, bahwa seni adalah sebuah kritik. Dari foto yang saya buat, narasinya adalah beda bentuknya, beda nyamannya, yang membandingkan antara kursi roda adaptif dan non-adaptif. Kursi roda non-adaptif biasanya adalah kursi roda standar yang diberikan oleh pemerintah sebagai bentuk charity. Saya berharap pameran foto ini menjadi kritik kepada pemerintah serta sarana edukasi mengenai perbedaan adaptif dan non-adaptif. Ke depan istilah adaptif yang digaungkan oleh pemerintah tidak sekedar kata tapi soal akses yang bermakna”, ucap Dinda Mahadewi. (LP)