Indonesia Matangkan Implementasi Transportasi Masal Berkelanjutan dalam Bentuk BRT
LITERASIPOST.COM, NUSA DUA | Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia 2020–2024 mengamanatkan pembangunan infrastruktur dengan transportasi masal perkotaan sebagai salah satu prioritas strategis nasional dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Hal ini sejalan dengan peranan penting transportasi masal, khususnya bus rapid transit (BRT) dalam mengintegrasikan wilayah, menggerakkan roda perekonomian, dan juga berperan sebagai langkah mitigasi perubahan iklim. Pemerintah pun berkomitmen untuk mengembangkan angkutan masal perkotaan di wilayah-wilayah metropolitan yang menyumbang 41 persen dari PDB nasional atau setara dengan Rp5.554 triliun.
Provinsi Bali adalah salah satu contoh penerapan BRT yang telah berjalan. Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Bali, I Gede Wayan Samsi Gunarta menjelaskan, sistem BRT Bali bernama Trans Sarbagita dan Trans Metro Dewata terus menunjukkan tren lonjakan penumpang seiring dengan pemulihan ekonomi pascapandemi. Data pada September 2022 mencatat 16.257 penumpang. Padahal, pada Februari tahun yang sama hanya berkisar 4.343 orang. Oleh karena itu, bantuan pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan dalam pendanaan operasional sangat diapresiasi.
“Visi Pemerintah Provinsi Bali adalah membangun Bali Baru: yang lebih kuat, aspiratif, dan tangguh dalam menghadapi risiko. Dalam konteks tersebut, pariwisata adalah sektor yang tidak dapat ditinggalkan, sehingga harus didukung oleh infrastruktur yang terintegrasi dan terkoneksi. Rencana kami adalah layanan transit berkualitas, khususnya BRT. Kami akan mendorong bagaimana caranya supaya ada dedicated lane yang menghubungkan wilayah-wilayah secara lebih cepat dan tepat waktu,” kata Samsi Gunarta pada diskusi sesi ketiga Sustainable Transportation Forum (STF) 2022 bertajuk “Memulai Implementasi Transportasi Berkelanjutan: Persiapan BRT” di BICC Nusa Dua, Bali, Kamis (20/10/2022). Acara ini merupakan wadah pertukaran informasi terdepan yang mempertemukan berbagai pelaku transportasi perkotaan di Indonesia dari pemerintah, mitra pembangunan, lembaga donor, akademisi, sektor swasta, dan komunitas. Kegiatan terselenggara oleh Kementerian Perhubungan dengan dukungan GIZ.
Dalam kajian GIZ di lima kota percontohan, dedicated lane atau lajur khusus merupakan salah satu dari delapan komponen pendukung kelancaran BRT sebagai tulang punggung moda transportasi perkotaan. Komponen sistem BRT yang ideal juga harus memiliki sistem pembayaran terpadu berbasis elektronik, serta bus dan halte yang berlantai rendah. Selain itu, untuk membangun transportasi masal harus melibatkan banyak pihak. Paradigma pembangunan tidak bisa melihat hanya satu kota, tetapi harus dalam konsep metropolitan, seperti diterapkan di Kawasan Cekungan Bandung.
“Dua puluh tahun yang lalu transportasi umum adalah raja jalanan, terutama bus. Pada 2018, proporsi bus hanya seperlima saja. Bagaimana nanti pada 2030? Kami melakukan studi kelayakan di lima kota prioritas, yaitu Bandung, Semarang, Makassar, Pekanbaru, dan Batam. Setiap kota memiliki kebutuhan yang berbeda, walaupun permasalahannya sama; transportasi publik belum menjadi prioritas dibanding transportasi pribadi. Saat ini, opsi paling cepat dan realistis adalah implementasi BRT,” ujar Advisor GIZ SUTRI NAMA & INDOBUS, Maulana Ichsan Gituri.
Membangun sistem transportasi publik yang berkelanjutan dalam bentuk BRT membutuhkan investasi yang relatif rendah. Pun demikian, kapasitas fiskal tiap pemerintah daerah berbeda, sehingga transformasi sistem membutuhkan dukungan berbagai pihak dan sumber pendanaan alternatif lainnya.
“Kebanyakan kota membutuhkan kapasitas sumber daya, panduan kebijakan, dan akses sumber keuangan yang memadai untuk mengembangkan sistem transportasi yang berkelanjutan, seperti BRT. Atas dasar inilah muncul ide membentuk Prakarsa Infrastruktur Hijau atau Green Infrastructure Initiative (GII). Prakarsa ini adalah tindak lanjut perjanjian bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jerman untuk membangun infrastruktur hijau,” kata Advisor GIZ Green Infrastructure Development, Lena Herliana.
Lena melanjutkan, infrastruktur hijau didefinisikan sebagai infrastruktur yang dirancang, dibangun, dan dioperasikan dengan cara yang ramah lingkungan, berketahanan alam dan iklim, rendah karbon, serta mengadopsi prinsip-prinsip kesetaraan gender. Terdapat dua komponen pembiayaan, yaitu bantuan teknis yang diselenggarakan GIZ dalam bentuk hibah sebesar 9,4 juta Euro dan fasilitas kerja sama keuangan berupa pinjaman bersubsidi sebesar 2,5 miliar Euro dari Bank Pembangunan Jerman. (igp)