Bedah Buku “Catatan Jurnalistik: Mencari Kitab Suci”

LITERASIPOST.COM, DENPASAR | Bedah Buku “Catatan Jurnalistik: Mencari Kitab Suci” yang ditulis oleh I Gusti Ngurah Wisnu Wardana, berlangsung di Warung Kubu Kopi, Tanjung Bungkak, Denpasar, Jumat (11/8/2023). Acara tersebut menghadirkan Prof Ketut Sumadi sebagai penyanggah yang dipandu oleh Rofiqi Hassan.
“Mencari Kitab Suci, yang saya tangkap maknanya adalah mencari diri kita sendiri. Demikian halnya wartawan, hidupnya sederhana tapi berpikir mulia. Sehingga dengan peluncuran buku ini diharapkan kita bisa jadi orang yang dimuliakan,” ungkap Prof Sumadi.

Buku “Catatan Jurnalistik: Mencari Kitab Suci” karya I Gusti Ngurah Wisnu Wardana. (Foto: Literasipost)
Lanjutnya, hidup menjadi wartawan sama dengan profesi lain seperti dokter, arsitek dan lainnya. “Sesungguhnya profesi jurnalis atau wartawan mengajak kita kembali pada diri kita sendiri. Wartawan itu kadang-kadang identitasnya bisa abu-abu, seperti cover buku ini. Tulisan kuning ini lambang cahaya kebahagiaan. Jadi tugas wartawan menyajikan berita harus memberi kebahagiaan kepada masyarakat,” sambungnya.
Sementara itu I Gusti Ngurah Wisnu Wardana berharap penerbitan buku setebal 400 halaman ini dapat memberikan inspirasi bahwa adat budaya yang sudah ada sejak zaman pra-sejarah Bali, kemudian membuat tanah Bali memiliki vibrasi kesucian dari berbagai upacara adat budaya (yadnya) yang dilakukan secara terus menerus oleh krama Bali sebagai salah satu cara mereka menekuni agamanya (Hindu). Vibrasi itu kemudian membentuk generasi Bali yang “suputra”. Sebuah generasi yang berbudi pekerti luhur cerdas, bijaksana, dan membanggakan keluarga. Anak suputra akan mengangkat harkat dan martabat orang tua.
Di sisi lain ia melihat kondisi antagonis (2000-an) yaitu perubahan perilaku dalam menyelenggarakan “yadnya”. Penulis pernah hadir dalam suatu seminar yang membahas bahwa orang Bali (tahun 2010-an) seolah-olah mulai terbebani oleh penyelenggaraan yadnya, karena semuanya ada hitungan rupiah. Padahal, sejak dulu, pelaksanaan yadnya dilakukan sebagai pemujaan, penghormatan. pengorbanan, pengabdian, perbuatan baik (kebajikan, pemberian, dan penyerahan dengan penuh kerelaan (tulus ikhlas) berupa apa yang mereka miliki demi kesejahteraan serta kesempurnaan hidup bersama untuk memuja kemuliaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
“Buku ini masih banyak kekurangannya, mengingat saya bukanlah seorang pakar kitab suci agama (Hindu). Buku ini hanya catatan seorang jurnalis, sehingga menjadi buku catatan jurnalistik, untuk membedakannya dengan buku karya akademik atau buku-buku sastra lainnya,” pungkas Wisnu Wardana. (igp)














