Kisah Gus Adit, Penyandang Netra yang Berjuang Mandiri di Tengah Pandemi

LITERASIPOST.COM, DENPASAR | Rumah mungil itu terasa teduh. Gemericik air di kolam dan kicau burung menambah asri suasana. Di jalan, tampak beberapa turis berlalu-lalang. Matahari cukup terik dan langit cerah.
Aditya, akrab dipanggil Gus Adit, adalah pemilik rumah tersebut. Nama lengkapnya adalah Ida Bagus Aditya Putra Pidada, seorang pemuda Bali penyandang difabel netra yang kreatif dan mandiri. Pemuda kelahiran 23 Juni 1996 ini dikenal sebagai penyiar radio, penulis dan sekaligus seorang terapis pijat, yang menuturkan kisah menarik perjuangannya sebagai seorang penyandang disabilitas, di tengah himpitan krisis yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.
Pandemi membuat pariwisata Bali terkena dampak serius. Area-area wisata seperti Ubud, Kuta dan Sanur sontak sepi. Banyak usaha tutup, tak terkecuali pijat. Mereka menjerit karena jumlah pelanggan menurun drastis bahkan tak ada sama sekali. Salah satu ruangan di rumah Gus Adit yang dijadikan tempat pijat dan kerap didatangi pelanggan, baik dari Bali maupun luar Bali, kosong sepanjang pandemi. Gus Adit termasuk yang beruntung, ia masih bisa bertahan hidup di masa sulit itu dengan pendapatannya sebagai penyiar radio di Radio Publik Kota Denpasar.
“Kami hanya bisa menunggu keadaan membaik dengan sendirinya, sambil terus menyerap informasi dari berbagai sumber, dan memperhatikan perkembangan situasi umum di masa yang penuh ketidakpastian tersebut,” kenangnya.
Gus Adit pada Agustus 2021 pun sempat terpapar Covid-19. “Saya ingat betul, waktu itu saat Hari Kemerdekaan RI saya mengkoordinir lomba menyanyi bagi difabel netra. Awalnya saya demam selama tiga hari, lalu mulai mengalami gangguan fungsi penciuman. Setelah dilakukan tes di Puskesmas, ternyata saya positif Covid-19,” tuturnya.
Di masa isolasi, dirinya menyusun kembali puisi-puisi yang pernah ia tulis, lalu diterbitkan dalam sebuah buku yang bertajuk “Beri Aku Cakrawala” dan memuat 69 puisi dengan tema beragam, pada November 2021.
Masyarakat umum mungkin mengira penyandang disabilitas (terutama netra) tidak mengerti tentang pandemi Covid-19 karena keterbatasan mereka dalam menangkap stimulasi dalam berbagai format. Namun jangan salah, para difabel netra terutama yang berasal dari generasi muda ternyata sangat melek teknologi. Melalui aplikasi khusus, teman-teman netra bisa menggunakan ponsel pintar layaknya masyarakat non-disabilitas.
Bagi penyandang disabilitas netra, jelas Gus Adit, keberadaan organisasi sangat penting untuk saling berbagi pengetahuan dan membangun solidaritas. Ia sendiri tercatat sebagai anggota Dewan Pengurus Cabang PERTUNI (Persatuan Tuna Netra Indonesia) Kota Denpasar.
“Komunikasi risiko yang paling penting yakni imbauan kepada difabel untuk selalu disiplin menerapkan protokol kesehatan, apalagi kebanyakan dari kami bekerja sebagai terapis pijat,” tukas Gus Adit.
Kini, kasus Covid-19 mulai melandai. Sejak April 2022, pariwisata di Bali pun mulai bergeliat. Para wisatawan domestik maupun mancanegara mulai berdatangan. Senyum para pedagang dan pemilik hotel mulai merekah lagi. Bagi Gus Adit dan kawan-kawan terapis pijat, kondisi ini sangat disyukuri, mengingat perekonomian Bali sebagian besar bergantung pada pariwisata.
Pengalamannya berhasil bertahan hidup dari ganasnya Covid-19 ia tuangkan dalam puisi berjudul “Puisi Senyap” yang petikannya;
“Panggil Aku Covid-19!
Sebuah kamuflase evolusi dari keniscayaan
Tanpa ragu dan belas kasihan, aku akan mendusta nafas kalian!
Bagai elang kelaparan yang memangsa habis seluruh ikan-ikan
Izinkan aku menjadi perwakilan seleksi alam
Wahai para makhluk berkatub serakah
Aku juga ingin bertahan hidup
Bermain riang dengan jiwa dan nyawa
Sampai nanti inangku mati terlentang dingin di tanah.”
[Dari buku “Beri Aku Cakrawala”, Ida Bagus Aditya Putra Pidada, 2021]. (igp/r)














