Malam Doa Untuk Umbu Landu Paranggi, Tebarkan Spirit di Taman Sastra
LiterasiPost.com, Denpasar –
Indonesia kehilangan sosok guru, penyair dan panutan dalam kesusasteraan Tanah Air, Umbu Landu Paranggi, pada Selasa (6/4/2021) pukul 03.55 WITA. Untuk mengenang sosok tokoh sastra serta memperingati perjalanan hidupnya, Jatijagat Kampung Puisi (JKP) menggelar acara “Malam Doa untuk Umbu Landu Paranggi” bertempat di JKP, Jalan Cok Agung Tresna No. 109 Denpasar, Sabtu (10/4/2021).
Acara dilaksanakan secara luring dan daring dengan live Instagram dan Facebook Jatijagat Kampung Puisi. Diawali penampilan teatrikal Kardanis Muda Wijaya bertajuk Mirage dengan judul puisi Umbu Wulang Landu Paranggi Lagu Tujuh Patah Kata.
Lurah JKP Bali, Ngurah Arya Dimas Hendratno dalam sambutannya menyampaikan bahwa acara ini diinisiasi oleh Pranita Dewi, Moch Satrio Welang, Bonk Ava, Legu, Heri dan Obe Marzuki serta seniman lainnya.
“Umbu menyatukan semua generasi, berharap selalu menyatu dan terus tetap menyala dan guyub itu roh dan dititipkan ke kita,” ucap Dimas.
Malam Doa untuk Umbu ini terbuka untuk umum yang ingin bersama-sama mendoakan dan mengenang almarhum Umbu Landu Paranggi. Selain doa bersama, disajikan pula pembacaan puisi, musikalisasi puisi, serta testimoni dari murid Maha Guru Penyair Indonesia tersebut.
Perwakilan JKP, Wayan Jengki Sunarta mengatakan Mahaguru Umbu Landu Paranggi adalah panutan di JKP. Bahkan sejak JKP berdiri, Umbu selalu menemani dan membimbing dalam berkesenian, khususnya sastra. Umbu pula lah yang memberikan nama Jatijagat Kampung Puisi (JKP) sebagai komunitas seni di Denpasar.
“Bagi kami, beliau adalah sosok tak tergantikan. Jadi kami menggelar doa bersama ini untuk mengenang beliau. Semoga beliau damai di alam keabadian,” ucap Jengki.
Lahir di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1943, Umbu merupakan penyair sekaligus guru penyair. Ia juga mengasuh rubrik puisi dan sastra di Pelopor Yogyakarta dan rubrik apresiasi di Bali Post. Puisi adalah kehidupan bagi Umbu dan sebaliknya kehidupan adalah puisi. Satu spirit yang penting ditanamkan oleh mantan Presiden Malioboro itu adalah “Tanam dan Taman” yang artinya wajib menanam, membiarkan apapun tumbuh di taman kita baik itu gulma dan lain-lain, itu hasil yang kita tanam. Umbu menghargai semua benih yang tumbuh dan beliau tidak akan membabat.
“Beliau adalah ‘tukang kebun’. Kayak kami ini di JKP adalah taman yang isinya berbagai karakter, kita wajib menjadi tukang kebun bagi taman kita sendiri. Warisan beliau di JKP berupaya kami teruskan bukan hanya spirit sastra berkesenian tapi spirit menanam, menciptakan taman, memunculkan benih-benih baru bidang sastra berkesenian sehingga terjadi regenerasi,” terang Jengki.
Umbu adalah “tukang kebun” yang luar biasa bagi talenta-talenta baru dimana saja. Dengan gayanya yang senyap, Ia mampu menciptakan taman raya kesusastraan dan taman raya kebudayaan di Yogyakarta maupun Bali.
Jengki menceritakan bahwa Umbu pindah ke Bali sejak tahun 1978. Sebelumnya dari Yogyakarta sempat ke Sumba. Setelah pada tahun 1979 mengasuh ruang apresiasi di Bali Post sebanyak dua halaman. Pernyataan pertama esainya “Memanggil Remaja Kreatif” seperti yang diterapkan di Yogyakarta.
Dengan ruang sastra dua halaman di Bali Post, beliau menggembleng dan membina remaja-remaja kreatif untuk menulis puisi, prosa lirik, cerpen, esai dengan kelas-kelas yang dibuatnya. Ada klasifikasi kelas yang diciptakan Umbu. Kelas Pawai bagi penulis pemula. Kalau sudah lolos masuk kelas kompetisi, selanjutnya disaring lagi kompetisi promosi dan kelas tertinggi pos budaya. Kelas pos budaya sekelas majalah sastra Horison.
“Itulah cara beliau menggembleng membangkitkan kepercayaan diri generasi muda Bali waktu itu. Lewat rubrik Bali Post kami sering dikontak foto kami dipasang besar-besar. Kalau tidak pernah menulis lagi kita dikontak dengan kata-kata yang unik,” pungkas Jengki. (igp)